Dunia teknologi punya selera humor yang aneh. Kamu lembur ngoprek AI, dari debugging tengah malam sampai meeting yang rasanya nggak ada habisnya ujung-ujungnya malah kena PHK insinyur Microsoft akibat AI. ngoding sampe kafe tutup dan kamu masih nongkrong di depan laptop tapi ternyata si AI malah yang naik tahta.Tapi begitu proyeknya sukses, malah kamu yang dikasih ucapan selamat tinggal.
Welcome to Microsoft 2025.
PHK 6000 Orang Ironi di Balik Laba Besar

Baru-baru ini, Microsoft memangkas sekitar 6000 karyawan secara global. Secara persentase, itu hampir 3% dari total tenaga kerja mereka. Dan ini bukan cuma angka. Ini cerita tentang manusia-manusia yang pernah jadi tulang punggung transformasi digital Microsoft terutama di bidang AI.
Yang paling kena? Lucunya, mereka yang dulu ngoding AI sampai lembur sekarang harus pamit karena… AI-nya sukses banget sampai mereka nggak dibutuhin lagi. Ini sih kayak bikin robot pembantu, eh robotnya malah ambil alih rumah.
Jeff Hulse, Wakil Presiden Microsoft yang memimpin tim berisi 400 insinyur, adalah salah satu tokoh penting di balik pemanfaatan AI untuk menulis kode. Tapi tragisnya, tim-nya malah ikut digulung dalam gelombang PHK.
Bangun AI, Lalu Tersingkir oleh AI?

Di markas besar Microsoft di negara bagian Washington, lebih dari 40% dari mereka yang di-PHK adalah kalangan teknisi. Ironinya, banyak dari mereka sebelumnya justru diminta meningkatkan pemanfaatan AI dalam alur kerja mereka.
Para insinyur disodori alat baru: chatbot canggih buatan OpenAI, yang katanya bisa bantu bikin kode sampai 50%. Awalnya sih terdengar seperti asisten kerja… sampai sadar asisten ini pelan-pelan jadi pengganti.. Di atas kertas, ini efisiensi. Di lapangan, ini pembuka pintu keluar.
Setelah integrasi AI ke dalam sistem produksi, sejumlah posisi teknis mulai dianggap “tidak lagi dibutuhkan”. Satu pertanyaan yang menampar pun muncul:
“Apakah kami, tanpa sadar, melatih pengganti kami sendiri?”
Satya Nadella AI Adalah Terobosan Produktivitas
CEO Microsoft, Satya Nadella, dengan penuh semangat menyebut AI sebagai “terobosan produktivitas terbesar abad ini”. Dalam sejumlah proyek, AI bisa menulis sepertiga dari total kode cepat, murah, dan nyaris tanpa drama revisi.
Dari sudut pandang bisnis, ini revolusi.
Tapi bagi para insinyur yang kena gelombang PHK, ini lebih mirip revolusi berdarah dingin. Teknologi yang mereka bantu ciptakan justru menyingkirkan mereka dari sistem yang dulunya mereka kuasai.
Bukan Cuma Junior, Manajer Juga Kena
Yang bikin tambah pedas, bukan cuma junior yang kena tendang bahkan para senior, yang udah ikut ngoding sejak AI masih bisa salah ngeja ‘hello world’, ikut dilibas juga. Tim manajer produk, manajer program teknis, hingga bahkan tim proyek AI itu sendiri ikut terdampak.
Salah satunya adalah Gabriela de Queiroz, Direktur AI untuk startup di Microsoft. Ia menyebut momen ini sebagai “pahit manis” karena meskipun dia sudah sedikit menduga, tetap saja rasanya berat.
“Apakah saya sudah menduga? Mungkin.”
“Tapi saat ini, tak peduli seberapa keras Anda berusaha atau seberapa besar kontribusi Anda, tak ada yang kebal dari restrukturisasi,” ujarnya dengan nada getir.
Dalih Perusahaan Restrukturisasi Manajemen?
Microsoft berdalih bahwa langkah ini adalah bagian dari penyederhanaan struktur organisasi, terutama di lapisan manajemen.
Tapi menurut data internal, hanya 17% dari PHK di Washington yang berasal dari kalangan manajer. Jadi kalau manajemen bukan target utama, lalu siapa?
Jawabannya: orang-orang teknis, yang dalam dua tahun terakhir ini justru jadi ujung tombak integrasi AI ke dalam platform Microsoft.
Ironis? Sudah pasti. Tapi inilah wajah baru kapitalisme teknologi: efisiensi kadang mengorbankan para inovatornya sendiri.
Dunia Kerja 2025 Saat Loyalitas Tidak Lagi Jadi Jaminan
Kasus Microsoft ini hanyalah salah satu potongan puzzle dari perubahan besar yang sedang terjadi.
- AI bukan lagi sekadar alat bantu.
- AI sekarang ikut menentukan siapa yang tetap di kantor, dan siapa yang keluar bawa dusan.
Banyak yang bertanya: kalau para insinyur Microsoft aja bisa tergantikan, siapa yang aman?
Jawaban jujurnya? Tidak ada yang benar-benar aman kecuali kita terus beradaptasi.
Apa yang Bisa Kita Pelajari?

- Teknologi nggak punya perasaan.
AI mah nggak kenal rasa kasihan mau kamu kerja dari subuh sampai mata tinggal 1 watt, dia tetap jalan tanpa drama, tanpa kopi, tanpa ngeluh. Dia cuma tahu: cepat, akurat, dan nggak minta cuti. - Upgrade skill bukan pilihan, tapi kebutuhan.
Bukan cuma soal bisa pakai AI, tapi juga ngerti cara kerja dan strategi penerapannya. - Manusia tetap penting tapi harus relevan.
Empati, kreativitas, intuisi, komunikasi, leadership itu skill yang belum bisa digantikan AI (untuk saat ini).
Penutup: Di Balik Revolusi, Ada Korban Senyap
Kita sering menyambut AI dengan tepuk tangan. Tapi jarang kita lihat siapa yang diam-diam disingkirkan oleh gelombangnya.
PHK massal di Microsoft adalah peringatan keras, bukan cuma untuk karyawan teknologi, tapi untuk siapa pun yang hidup di era otomasi.
Mungkin benar, masa depan itu milik AI. Manusia bukan pion yang bisa disingkirkan seenaknya kita tetap bisa punya peran, bahkan di era AI..
Pertanyaannya sekarang: kita mau adaptasi, atau kita ikut tersingkir?
Baca juga: Topeng Anti Begal ala Mbah Jambrong Inovasi atau Mitos Urban?
Kalau kamu pikir teknologi cuma soal AI dan software, kamu belum kenal Mbah Jambrong. Topeng anti begal ini bikin kita mikir dua kali soal apa itu sebenarnya “inovasi lokal”.