Kasus Alvi Maulana dan TAS Cinta, Tekanan, dan Tragedi di Mojokerto
Kalau ngomongin soal hubungan asmara, biasanya kita langsung mikir ke hal-hal indah dinner bareng, nonton bioskop berdua, atau sekadar rebahan sambil curhat panjang. Tapi nggak semua kisah cinta berakhir bahagia. Ada juga yang berakhir pahit, bahkan tragis.
Beberapa waktu lalu, publik Indonesia digemparkan oleh kasus Alvi Maulana (24) yang tega menghabisi nyawa pacarnya, TAS (25), lalu memutilasi tubuhnya hingga ratusan potong. Kejadian ini terjadi di Mojokerto, Jawa Timur, dan langsung jadi berita utama di berbagai media.
Motif di balik kasus ini cukup mengejutkan konflik dalam hubungan, tuntutan ekonomi, dan tekanan emosional yang memuncak. Dari sini, kita bisa belajar banyak tentang bagaimana hubungan yang tidak sehat bisa berujung fatal. Jadi, mari kita kupas tuntas, dengan gaya santai tapi tetap serius, apa yang sebenarnya bisa kita pelajari dari kasus ini.
Latar Belakang Hubungan yang Panjang

Lima Tahun Bersama Dari Romantis ke Tragis
Alvi dan TAS diketahui sudah menjalin hubungan sekitar lima tahun. Mereka bahkan tinggal bersama di sebuah kos di daerah Lidah Wetan, Surabaya. Awalnya mungkin hubungan itu berjalan manis, tapi seiring waktu, muncul masalah klasik: keuangan, gaya hidup, dan ekspektasi.
Menurut Kapolres Mojokerto AKBP Ihram Kustarto, konflik bermula dari “kegiatan suami istri yang belum sah” dan tuntutan gaya hidup yang dirasa memberatkan Alvi. Lama-lama, tekanan itu menumpuk, hingga akhirnya meledak menjadi peristiwa tragis.

Tekanan Ekonomi dan Beban Emosi
Coba kita jujur: berapa banyak pasangan yang sering ribut soal uang? Ternyata lumayan banyak. Uang memang bukan segalanya, tapi kalau nggak ada, bisa bikin segalanya ribet.
Dalam kasus ini, Alvi merasa kewalahan memenuhi tuntutan gaya hidup TAS. Dari sinilah timbul frustrasi. Nah, ketika frustrasi nggak tersalurkan dengan sehat, bisa berubah jadi amarah. Dan kalau amarah nggak dikendalikan? Ya hasilnya bisa fatal, seperti yang kita lihat.
Konflik yang Menjadi Alarm Bahaya
Dari Pertengkaran ke Kekerasan
Pertengkaran dalam hubungan itu wajar, bahkan mungkin sehat kalau bisa bikin pasangan saling terbuka. Tapi kalau pertengkaran berubah jadi kekerasan, itu sudah masuk zona bahaya.
Dalam kasus Alvi dan TAS, konflik yang harusnya bisa diselesaikan lewat komunikasi justru berakhir di jalur kekerasan ekstrem. Ini bukan hanya soal “tak tahan lagi”, tapi juga soal kontrol emosi yang hilang.
Banyak psikolog menyebut: begitu ada kekerasan verbal (teriak-teriakan, makian) atau fisik (dorongan, tamparan), hubungan itu udah red flag besar. Kalau nggak segera dihentikan, risikonya bisa makin besar.

Hubungan Toxic Itu Nyata
Istilah “toxic relationship” mungkin sering terdengar kayak jargon anak TikTok. Tapi serius, ini nyata dan berbahaya. Toxic relationship itu ketika hubungan lebih sering bikin sakit hati daripada bahagia.
Ciri-cirinya banyak:
-
Satu pihak selalu menuntut, pihak lain selalu mengalah.
-
Ada manipulasi emosional: bikin pasangan merasa bersalah terus.
-
Kekerasan verbal atau fisik jadi hal biasa.
-
Rasa aman hilang, yang ada cuma takut dan tertekan.
Kalau udah begini, ujung-ujungnya bisa kayak kasus Alvi dan TAS: salah satu pihak meledak, dan berakhir di tragedi.

Pelajaran dari Kasus Alvi dan TAS
Komunikasi Itu Kunci
Sepele tapi penting: komunikasi sehat. Kalau ada masalah, ngomong. Kalau ada tuntutan, diskusikan. Jangan dipendam. Jangan pula “meledak” pas lagi emosi.
Komunikasi bukan cuma soal bicara, tapi juga mendengar. Kadang pasangan cuma butuh didengar tanpa langsung dihakimi. Kalau komunikasi macet, masalah kecil bisa jadi besar.
Kesehatan Mental Jangan Diremehkan
Sering kali, kita mikir kesehatan mental itu urusan nomor sekian. Padahal, kondisi mental yang nggak stabil bisa bikin orang melakukan hal-hal di luar nalar.
Kasus ini jadi alarm: tekanan, stres, dan rasa kewalahan bisa berubah jadi tindakan ekstrem kalau nggak dikelola. Itu sebabnya penting punya support system, entah itu teman, keluarga, atau bahkan profesional.
Red Flags Harus Dikenali
Red flag bukan cuma tanda lalu lintas. Dalam hubungan, red flag adalah tanda bahaya. Misalnya:
-
Pasangan sering ngontrol hidup kita.
-
Ada ancaman setiap kali ada konflik.
-
Tuntutan berlebihan tanpa kompromi.
-
Kekerasan dianggap “hal kecil” yang bisa ditoleransi.
Kalau tanda-tanda ini muncul, jangan diabaikan. Jangan berpikir “ah, nanti dia berubah.” Karena kenyataannya, sering kali malah makin parah.
Apa yang Bisa Kita Lakukan?
Sebagai orang luar, kita mungkin cuma bisa geleng-geleng kepala baca berita ini. Tapi sebagai pelajaran hidup, kita bisa:
-
Jangan malu cari bantuan – konseling, psikolog, atau bahkan cerita ke sahabat bisa sangat membantu.
-
Berani bilang cukup – kalau hubungan sudah bikin kita hancur, lebih baik mundur daripada terus terseret.
-
Jaga kesehatan mental – jangan tunggu sampai meledak baru sadar.
Kesimpulan Cinta Sejati Harusnya Membahagiakan, Bukan Menghancurkan
Kasus Alvi Maulana dan TAS memang bikin banyak orang bergidik. Tapi di balik horornya kasus ini, ada pelajaran penting yang harus kita ambil.
Hubungan yang dibangun tanpa komunikasi sehat, tanpa keseimbangan, dan tanpa kontrol emosi, bisa jadi bom waktu. Tekanan ekonomi, tuntutan gaya hidup, dan rasa kewalahan bisa jadi pemicu. Dan kalau semua itu dibiarkan, tragedi bisa terjadi.
Jadi, daripada sibuk mikirin drama pasangan lain, mending kita refleksi ke diri sendiri. Apakah hubungan kita sehat? bisa ngobrol dengan pasangan tanpa takut? Apakah kita saling dukung, bukan saling menjatuhkan?
Karena sejatinya, cinta itu harusnya bikin kita tumbuh, bukan hancur. Kalau cinta malah bikin kita tertekan, mungkin itu bukan cinta itu hanya jebakan yang harus segera kita tinggalkan.
FAQ Seputar Kasus Alvi Maulana dan Hubungan Tidak Sehat
1. Apa motif utama Alvi Maulana melakukan tindakannya?
Motif utamanya adalah rasa kewalahan dengan tuntutan ekonomi dan gaya hidup pacarnya, ditambah hubungan yang penuh konflik.
2. Apa yang dimaksud dengan hubungan toxic?
Hubungan toxic adalah hubungan yang lebih sering menyakiti daripada membahagiakan. Bisa berupa tuntutan berlebihan, manipulasi emosional, atau kekerasan.
3. Bagaimana cara mengenali red flag dalam hubungan?
Red flag bisa dikenali dari adanya kontrol berlebihan, ancaman, kekerasan, atau rasa tidak aman yang terus muncul dalam hubungan.
4. Apa peran komunikasi dalam mencegah konflik?
Komunikasi yang sehat bisa mencegah masalah kecil jadi besar. Dengan bicara jujur dan mendengar satu sama lain, konflik bisa diselesaikan tanpa kekerasan.
5. Apa langkah terbaik kalau sudah terjebak dalam hubungan toxic?
Langkah terbaik adalah mencari bantuan, baik dari teman, keluarga, atau profesional. Kalau situasi sudah tidak aman, lebih baik keluar dari hubungan itu sesegera mungkin.